Layaknya konsep hidup dan mati, manusia yang masih hidup mau tidak mau akan berhadapan dengan kematian, entah pada dirinya atau pada manusia-manusia lain yang dekat dengannya. Akan tetapi, berbeda dengan kelahiran yang dapat datang sesuai ekspektasi, kematian justru muncul tanpa memandang kita siap atau tidak dalam menghadapinya. Mudahnya, premis tersebut hadir dalam film ‘Ketika Berhenti di Sini’.
‘Ketika Berhenti di Sini’ merupakan film drama dari Sinemaku Pictures dan Legacy Pictures yang menjadi film kedua arahan Umay Shahab setelah ‘Kukira Kau Rumah’.
Membawa kembali Prilly Latuconsina sebagai pemeran utama serta didampingi Bryan Domani dan Refal Hady, film ini berkisah tentang Dita yang harus sekali lagi kehilangan Ed yang ia sayangi karena kecelakaan, setelah beberapa tahun ke belakang ayahnya meninggal dunia. Kala Dita berusaha untuk merelakan kepergian Ed, ia mendapatkan kaca mata canggih peninggalan Ed, membawanya larut dalam imajinasi dan perlahan mempengaruhi orang-orang sekitarnya.
Narasi dalam ‘Ketika Berhenti di Sini’ berjalan dalam alur maju yang linear, sehingga bibit-bibit cerita sebenernya sudah ditanam sejak menit awal film bergulir. Akan tetapi, naskah yang digarap oleh Umay Shahab bersama Alim Sudio dan Monty Tiwa ini dalam beberapa momen memberikan minor flashback yang diposisikan untuk menampilkan kenangan Dita pada orang-orang yang telah meninggalkannya sekaligus menjadi pemicu duka seiring penceritaannya.
Seperti pendahulunya, film kedua Sinemaku Pictures ini memiliki plot yang tergolong mudah untuk dipahami walau tema utamanya terasa memiliki bobot lebih besar.
Seiring jalannya kisah, ‘Ketika Berhenti di Sini’ membawakan banyak hal yang tersaji di depan mata penonton. Layaknya ‘Kukira Kau Rumah’, film ini akan memfokuskan dirinya pada perjalanan diri dalam melanjutkan hidup kala seseorang harus berhadapan dengan hilangnya orang lain yang ia sayang, entah nantinya akan bisa menerima atau justru semakin larut dengan duka terkait hal tersebut. Meski duka tersebut seakan hanya berdampak pada diri sendiri, perlahan tapi pasti duka ini akan memberikan pengaruh pada orang-orang sekitar, baik yang menuntut kita untuk move on bahkan sampai yang bersikukuh untuk mendampingi pihak yang berduka tersebut. Ini yang membuat film dari Umay Shahab tampak lebih dekat dengan penonton.
Meski tetap berusaha untuk poetic seperti ‘Kukira Kau Rumah’, ‘Ketika Berhenti di Sini’ ingin membawa poetry dalam kisahnya dengan menyematkan berbagai elemen modern yang hadir saat ini, utamanya dengan kecanggihan teknologi seperti artificial intelligence dan augmented reality yang hadir dalam plot utama film ini. Representasi tersebut tentunya akan membuat penonton mudah membandingkannya dengan ‘Her’ yang dibintangi Joaquin Phoenix yang banyak bermain dengan ragam bentuk duka dan kehadiran teknologi di tengah-tengahnya.
Selain Prilly Latuconsina, ‘Ketika Berhenti di Sini’ menghadirkan ragam cast ternama seperti Bryan Domani, Refal Hady, Lutesha, Sal Priadi, Cut Mini, Indra Brasco, hingga Widyawati Sophiaan dalam kisahnya. Akan tetapi, tampaknya hanya Prilly Latuconsina yang membuat kisah dalam film ini menjadi hidup, dengan para pemeran lainnya hadir sebagai pemicu duka yang dialami karakter Dita semata.
Dita dibawakan dengan baik oleh Prilly Latuconsina, lengkap dengan backstory yang mumpuni dan pembawaan yang mampu menampilkan ragam emosi dengan gemilang. Selebihnya, terlepas dari penampilan menggugah dari cast lainnya, minimnya screen time serta sedikitnya informasi mengenai latar belakang dari beberapa karakter penting yang mereka perankan membuat eksistensinya hanya dihadirkan untuk menguatkan Dita hingga akhir durasi.
Dengan budget yang tampak lebih besar dibanding film sebelumnya, ‘Ketika Berhenti di Sini’ hadir dengan teknis yang lebih mumpuni. Selain sinematografi yang didominasi pergerakan shaky sebagai bentuk ombang-ambing emosi Dita serta scoring penuh kesenduan, film ini menghadirkan visual effect ala film-film bertema teknologi untuk mengakomodasi ceritanya. Selain itu, pilihan soundtrack yang didominasi lagu-lagu indie local juga membuatnya akan mudah menyentuh kawula muda Indonesia.
‘Ketika Berhenti di Sini’ membawa penonton dalam perjalanan seseorang yang harus berhadapan dengan duka dan perlahan berusaha menjalani hidup sembari merelakannya.
Meski hadir dengan teknis yang lebih mumpuni dan akting Prilly Latuconsina yang juga menawan, rentetan karakter yang dihadirkan dengan minim motif membuat eksistensi mereka tak lebih dari sekadar batu loncatan bagi karakter utama untuk berkembang menghadapi kenyataan.