KAI Beri Penjelasan Soal Kereta Tak Bisa Ngerem Mendadak

MerahPutih.com- Insiden tabrakan kereta api dan truk di Semarang dan Bandar Lampung Selasa (18/7) lalu mendapat tanggapan beragam dari masyarakat.

Salah satu yang menjadi perhatian publik terkait pengoperasian sistem pengereman pada angkutan kereta api.

Baca juga:

Ribuan pekerja kereta api Inggris mogok

Vice President Public Affairs KAI Joni Martinus mengatakan, dari segi sistem pengereman, angkutan kereta api merupakan jenis angkutan yang pada saat melakukan pengereman memerlukan jarak pengereman untuk benar-benar berhenti.

Berbeda dengan angkutan darat pada umumnya, kereta api memiliki karakteristik yang secara teknis tidak bisa mengerem mendadak.

“Untuk itu kami mengimbau masyarakat agar lebih waspada dan berhati-hati sebelum melintasi perlintasan sebidang,” kata Joni Martinus di Jakarta, Jumat (21/7).

Menurut Joni, berikut faktor penyebab kereta api tidak mengerem mendadak:

1. Panjang dan Berat Rangkaian Kereta Api

Penyebab kereta tidak bisa berhenti tiba-tiba adalah panjang dan berat kereta. Semakin panjang dan berat sirkuit, semakin besar jarak yang dibutuhkan kereta untuk benar-benar berhenti.

Di Indonesia, rata-rata 1 rangkaian kereta penumpang terdiri dari 8-12 kereta (gerbong) dengan berat mencapai 600 ton, belum termasuk penumpang dan barang bawaannya. Dengan kondisi tersebut, akan membutuhkan banyak tenaga untuk menghentikan kereta.

2. Sistem Pengereman

Pengereman yang digunakan pada kereta api di Indonesia umumnya menggunakan sistem tipe rem udara. Cara kerjanya adalah dengan memampatkan udara dan menyimpannya hingga terjadi proses pengereman. Saat pengemudi mengaktifkan sistem rem, udara akan disalurkan melalui pipa-pipa kecil di sepanjang roda dan menimbulkan gesekan pada roda. Gesekan ini akan menyebabkan kereta berhenti.

Meski kereta dilengkapi dengan rem darurat, rem tersebut tetap tidak bisa berhenti mendadak. Rem ini hanya menghasilkan lebih banyak tenaga dan tekanan udara yang lebih besar untuk menghentikan kereta lebih cepat.

Jadi meskipun pengemudi melihat seseorang mematahkan rel dan menerapkan proses pengereman, masih butuh jarak pengereman untuk benar-benar berhenti. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya tabrakan jika jarak pengereman tidak terpenuhi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi jarak pengereman adalah:

1. Kecepatan kereta. Semakin tinggi kecepatan kereta, semakin jauh jarak pengeremannya.

2. Kemiringan (gradien) rel (datar, menurun atau miring).

3. Persentase pengereman yang ditunjukkan dengan besarnya gaya pengereman.

4. Jenis kereta api (kereta penumpang/barang).

5. Jenis rem (Blok komposit/Blok besi tuang).

6. Kondisi cuaca.

7. Dan berbagai faktor teknis lainnya.

Joni mengatakan rem kereta bekerja dengan tekanan udara. Sistem kinerja rem roda terhubung ke pengaturan piston dan silinder.

“Mekanisme yang mengurangi tekanan udara di dalam kereta akan memaksa rem mengunci dengan roda,” ujarnya.

Baca juga:

Volume penumpang kereta api jarak jauh mencapai 19 juta pada paruh pertama tahun 2023

Jika tekanan dilepaskan secara tiba-tiba, akan menyebabkan pengereman tidak merata.

Sehingga rem bekerja lebih dulu dari titik keluar udara. Pengereman yang tidak merata dapat menyebabkan kereta atau gerbong tergelincir, terseret, atau bahkan terbalik.

“Jadi kalau orang di perempatan melihat ada kereta api padahal masih jauh, sebaiknya berhenti sebelum kereta lewat,” pungkas Joni.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan, Pasal 114 menetapkan: “Pada perlintasan sebidang antara rel kereta api dan jalan raya, pengemudi wajib:

Itu. Berhenti saat bel berbunyi, pintu rel mulai tertutup dan/atau ada sinyal lain.

B. Sebelum kereta, dan

w. Memberikan hak primer kepada kendaraan yang melintasi rel terlebih dahulu.

Apabila pengguna jalan tidak mematuhi aturan tersebut, maka ditunggu sanksi hukumnya, sesuai dengan sanksi hukum yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009, Pasal 296, yang mengatur: “Barangsiapa yang mengemudikan kendaraan bermotor dan jalan yang tidak berhenti apabila isyarat berbunyi, pintu halte kereta api ditutup dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a) pasal 114.º, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh) ribu rupiah).” (Knu)

Baca juga:

Jalur menuju lokasi tabrakan kereta Brantas bisa dilalui



Source link