SEPUTARPANGANDARAN.COM, Undang-Undang Pemilihan Umum tidaklah melarang pribadi presiden untuk bergabung kampanye, apakah untuk pemilihan presiden atau pemilihan legislatif. Beleid yang identik juga tidak ada melarang kepala negara untuk berpihak atau memperkuat salah satu pasangan calon presiden.
Hal ini ditegaskan Guru Besar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra.
Menurutnya, Pasal 280 Undang-Undang pemilihan secara spesifik menyebut, di tempat antara pejabat negara yang mana dilarang berkampanye adalah ketua juga para hakim agung, ketua kemudian hakim mahkamah konstitusi, ketua juga anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Tidak ada penyebutan presiden serta perwakilan presiden atau menteri pada dalamnya.
Sementara itu pasal 281 mensyaratkan, pejabat negara yang digunakan bergabung berkampanye dilarang untuk menggunakan infrastruktur negara atau merek harus cuti di area luar tanggungan. Kendati begitu, undang-undang yang disebutkan tak menghapuskan aturan tentang pengamanan juga kebugaran terhadap presiden atau duta presiden yang tersebut berkampanye.
“Bagaimana dengan pemihakan? Kalau presiden dibolehkan kampanye, maka secara otomatis, presiden dibenarkan melakukan pemihakan terhadap capres-cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye bukan memihak,” kata Yusril, Jakarta, Rabu (24/1/2024).
“Aturan kita bukan menyatakan bahwa presiden harus netral, tidaklah boleh berkampanye kemudian tidaklah boleh memihak. Hal ini adalah konsekuensi dari sistem Presidensial yang digunakan kita anut, yang dimaksud tidaklah mengenal pemisahan antara kepala negara kemudian kepala pemerintahan, dan juga jabatan presiden serta wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45,” tambahnya.
Mantan Menteri Hukum serta Hak Asasi Individu periode 2001-2004 itu menyatakan, apabila presiden tidaklah boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi belaka untuk satu periode. Jika ada pihak yang dimaksud ingin presiden bersikap netral, Yusril mempersilakan pihak yang dimaksud untuk mengusulkan pembaharuan konstitusi.
“Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang pemilihan harus diubah, kalau presiden juga duta presiden bukan boleh berkampanye serta memihak. Aturan sekarang bukan seperti itu, maka Presiden Joko Widodo tidaklah salah jikalau ia mengungkapkan presiden boleh kampanye juga memihak,” beber dia.
Yusril, yang digunakan menjabat sebagai Ketua Umum Partai Siklus Bintang (PBB), berani berdebat ihwal ungkapan tiada etis yang diarahkan terhadap Presiden Jokowi apabila ia berpihak pada salah satu kandidat. Hal pertama yang tersebut harus digarisbawahi adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.
“Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang digunakan kedudukan normanya berada dalam melawan norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang mana harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu,” kata dia.
“Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct di suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan menghadapi perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil serta seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden juga delegasi presiden (dilarang kampanye atau berpihak) belum ada,” sambung dia, menjelaskan.
Atas dasar itulah, Yusril mempertanyakan indikator etis yang dimaksud dialamatkan terhadap Jokowi, yang mana berujar pada Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma pada Rabu bahwa “presiden boleh berkampanye.”
“Kalau seseorang berbicata etis serta tidaklah etis, umumnya berbicara menurut ukurannya sendiri. Bahkan, orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi sekadar sudah ada dianggap bukan etis. Apalagi dibawa ke persoalan politik, perihal etis tiada etis, malah terkait dengan kepentingan urusan politik masing,” tegas Yusril.
Sumber: Suara