SEPUTARPANGANDARAN.COM, Romli Atmasasmita
GRATIFIKASI lalu suap beda tipis pada rumusan normatifnya. Suap juga gratifikasi khusus ditujukan terhadap PNS/ASN atau Penyelenggara Negara sebagaimana diatur di UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih serta Bebas KKN.
Bedanya, gratifikasi menggunakan pembuktian terbalik yakni terdakwa wajib membuktikan bahwa perolehan dana yang tersebut ia terima dari pemberi bukanlah serta tidak ada ada kaitan dengan perbuatan pidana atau terdakwa wajib membuktikan perolehan tambahan harta kekayaannya adalah sah. Untuk penerimaan dana dengan nilai dalam melawan Rp1 miliar, terdakwa yang dimaksud wajib membuktikan. Akan tetapi, untuk nilai di tempat bawah Rp1 miliar, jaksa yang mana wajib membuktikan dugaan gratifikasi.
Gratifikasi dianggap delik sempurna (voltoid) jikalau penerima gratifikasi berniat menguasai kemudian memiliki secara permanen pemberian gratifikasi yang tersebut diterimanya serta tidaklah melaporkannya terhadap KPK di tenggat waktu 30 hari. Sedangkan suap dianggap sempurna seketika pemberi suap sudah pernah diterima penerima kemudian ada hubungan dengan jabatan atau kedudukan yang digunakan dimiliki penerima suap.
Selain perbedaan tersebut, gratifikasi memerlukan tenggat waktu 30 hari sebagai batas waktu pengembalian gratifikasi ke KPK, sedangkan suap tidaklah ada persyaratan tenggat waktu juga dana suap bukan menghapus penuntutan sekalipun terdakwa berniat memulihkan pemberian suap yang disebutkan untuk pemberi suap. Di di praktik, banyak terjadi penyidik/penuntut tiada mampu membedakan keduanya sehingga terdakwa dibebaskan dari tuntutan jaksa penuntut.
Adapun pembuktian kedua jenis aksi pidana yang disebutkan telah dilakukan dimudahkan dengan kewajiban setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) melaporkan harta kekayaan setiap tahunnya terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan yang dimaksud selanjutnya wajib diklarifikasi oleh KPK kebenarannya mengenai sumber juga jika kepemilikan harta kekayaannya juga kelebihan dari harta kekayaan yang digunakan sah yang ia terima dari negara. Jika terdapat harta kekayaan melebihi penghasilan ASN setiap tahun, maka terperiksa wajib mempertanggungjawabkan. Jika gagal, maka harta kekayaan yang disebutkan dirampas negara.
Dalam konteks dua jenis perbuatan pidana yang disebutkan terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), pemerintah telah dilakukan mengajukan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA). (RUU) Perampasan aset aktivitas pidana didesain khusus untuk menyempurnakan UU Tipikor serta UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih lalu Bebas KKN sehingga diharapkan strategi pencegahan korupsi lalu dapat dilaksanakan seimbang dengan strategi penindakan korupsi.
Di pada (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana digunakan dua cara pendekatan yaitu pendekatan keperdataan atau non-criminal-based forfeiture juga Kepidanaan atau criminal-based forfeiture; dengan sebutan lain, in-personam forfeiture kemudian in-rem forfeiture. Pendekatan keperdataan dilaksanakan melalui tuntutan secara perdata yang dimaksud dilaksanakan kejaksaan mengajukan gugatan terhadap Ketua PN, sedangkan pendekatan kepidanaan dilaksanakan melalui tuntutan pidana sebagaimana lazim dijalankan di praktik pidana.
Dalam pendekatan keperdataan yang dimaksud dijadikan sasaran atau target perampasan adalah harta kekayaan tersangka/terdakwa yang dimaksud diduga berasal dari aktivitas pidana sedangkan pendekatan kepidanaan, target sasaran adalah pemilik harta kekayaan yang diduga berasal dari tindakan pidana. Baik pada tuntutan pidana atau keperdataan maka LHKPN merupakan faktor penting, strategis, dan juga menentukan keberhasilan penyelenggaraan (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana oleh Pusat Analisis serta Transaksi Keuangan (PPATK) yang mana menjadi tulang punggung (backbone) pelaksanaan tugas penyidikan kemudian penuntutan atau gugatan.
Sumber Sindonews