Mengkonsumsi ikan sangat baik bagi kesehatan tubuh, karena kaya akan protein dan memiliki nilai gizi tinggi, juga meningkatkan imunitas. Meski begitu, seperti pada beberapa bahan pangan lainnya, ada hal yang harus diwaspadai.
Sebagian orang mungkin pernah mengalami gatal-gatal setelah mengkonsumsi beberapa jenis ikan, seperti ikan tongkol, atau kembung.
Beberapa bagian tubuh terdapat bercak-bercak merah dan sedikit bengkak, mulut terasa panas atau pedas, suhu badan meningkat, bahkan kadang-kadang muntah dan diare disertai dengan turunnya tekanan darah.
Segelintir orang kadang merasakan kepala menjadi sakit dan jantung berdebar. Gejala-gejala ini biasanya sembuh dalam waktu setengah sampai satu hari.
Gejala tersebut merupakan tanda bahwa konsumen mengalami alergi ikan. Gejala seperti di atas timbul sebagai reaksi adanya senyawa histamin pada ikan-ikan yang dikonsumsi. Karena itu, kasus sejenis ini lebih tepat disebut keracunan histamin.
Keracunan yang disebabkan oleh histamin,yang dikenal dengan keracunan histamine fish poisoning (HFP) seringkali terjadi setelah mengkonsumsi ikan laut yang banyak mengandung histidin bebas.
Beberapa jenis ikan terutama dari famili Scombroidae mempunyai kandungan histidin bebas yang tinggi, sebagai contoh tuna mata besar mencapai 491mg/100g daging, mahi-mahi 344mg/100g, cakalang 1192mg/100g, tuna ekor kuning 740mg/100g, kembung 600mg/100g, dan tuna albakor yang tertinggi, sampai 2g/100g.
Menurut hasil penelitian, hanya yang mengandung histidin bebas di atas 100 mg/100g daging yang mampu menghasilkan histamin.
Keracunan histamin mengakibatkan penyakit HFP disebabkan oleh akumulasi jumlah histamin yang dikonsumsi. Gejala keracunan histamin ditandai dengan sakit kepala, pembengkakan lidah, kerongkongan terbakar, mual, muntah–muntah, gatal–gatal dan diare. Gejala awal langsung terasa 10 menit sampai 2 jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung histamin tinggi.
Histamin adalah senyawa turunan dari asam amino histidin yang banyak terdapat pada ikan. Asam amino Histidin ini merupakan salah satu asam amino esensial yang dibutuhkan manusia.
Perombakan histidin menjadi histamin berlangsung di dalam sel ikan. Pada saat ikan mati, ikan akan mengalami proses kemunduran mutu, protein daging ikan terurai menjadi komponen penyusunnya yaitu asam amino.
Pada saat itu, ammonia dan amino nitrogen pada ikan sudah banyak, asam amino histidin berada dalam bentuk terikat masuk ke dalam sel bakteri. Lalu, bakteri kelompok Enterobacteriacea yang memproduksi enzim histidine decarboxylase (HDC) menyebabkan asam amino histidin mengalami dekarboksilase (pemutusan gugus karboksil) dan melepaskan CO2. Histidin bebas pada daging ikan menjadi histamin. Lalu histamin dikeluarkan dari sel.
Proses sintesis histamin disebabkan oleh kondisi lingkungan penyimpanan dan penanganan ikan yang tidak memenuhi persyaratan hiegenis dan sanitasi yang dapat menyebabkan terkontaminasinya produk perikanan oleh bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae.
Kelompok bakteri ini banyak terdapat di insang dan dalam usus atau perut ikan. Bakteri tersebut mampu memproduksi histamin dari histidine dalam jumlah tinggi.
Histamin tidak membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang rendah. Keracunan ini biasanya akan timbul karena tingginya kadar histamin yang terdapat pada ikan yang dikonsumsi.
Menurut FDA (Food and Drug Administration) keracunan histamin akan berbahaya jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 gr ikan.
Sistem pencernaan manusia sebenarnya mengandung enzim yang akan mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya. Akan tetapi jika dosis histamin yang dikonsumsi besar maka kemampuan enzim tersebut untuk menghancurkan histamin akan menyebabkan efek racun dari histamin pada tubuh.
Alergi ataupun keracunan dapat timbul karena kadar histamin yang tinggi masuk ke dalam sistem pencernaan, kemudian diserap oleh pembuluh darah dinding usus dan masuk ke dalam pembuluh darah yang akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan meningkatkan permiabilitas kapiler darah serta mengakibatkan pembengkakan dan warna merah pada kulit.
Kandungan histamin pada ikan tinggi karena proses dekarboksilasi histidin meningkat. Hal ini disebabkan kondisi penyimpanan dan penanganan ikan yang tidak hiegenis dan sanitasi. Hal ini juga bisa berlangsung pada saat kondisi ikan masih terlihat baik. Seperti halnya pertumbuhan bakteri, proses dekarboksilasi histidin berlangsung cepat pada suhu ruang, dengan suhu optimum 35°C.
Selain itu, karena sifat histamin yang stabil selama pemanasan dan pembekuan juga dapat menyebabkan ikan yang mengandung histamin dalam jumlah tinggi diolah lebih lanjut menjadi produk olahan ikan baik itu pembekuan, dimasak, atau dikalengkan maka produk akhir yang dihasilkan akan tetap mengandung histamin dalam jumlah tinggi. Karena itu keracunan histamin bisa tetap terjadi.
Upaya untuk mencegah keracunan histamin adalah dengan cara menjaga agar kadar histamin ikan rendah. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan histamin ikan tetap rendah.
Pada kondisi suhu ruang antara 25-38oC bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh dengan pesat, demikian pula dengan proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin.
FDA (Food and Drug Administration) merekomendasikan pendinginan cepat dipergunakan setelah ikan mengalami kematian agar pertumbuhan bakteri dan pembentukan histamin dapat dihambat. Penanganan terhadap ikan setelah mengalami kematian harus menggunakan suhu dibawah 4°C selama 12 jam atau pada suhu 10°C selama 9 jam.
Salah satu penyebab penolakan terhadap produk-produk perikanan menurut FDA (Food and Drug Administration) adalah adanya kandungan histamin yang melebihi 50 ppm. Sedangkan kandungan histamin sebesar 20 mg/ 100 gr ikan, terjadi karena penanganan ikan yang tidak hiegenis (Kim et al., 2002).
Pustaka
Mangunwardoyo, W., Sophia, R. A., Heruwati, S. E., & 1. (2007). Aktivitas Enzim L-Histidine Decarbokylase Dari Bakteri Pembentuk Histamin. Makaara Sains, 11(2), 104–109.
Kim,S.H., Price,R.J.,Morrissey,M.T., Field,K.G., Wei,C.I., and An,H. 2002.
Histamine Production by Morganella morganii in Mackerel, Albacore,
Mahi-mahi, and Salmon at Various Storage Temperature. J. of Food
Science Vol. 67 (4). P: 1522-1528.
Molenaar,D., Bosscher,J.S., Brink,B.T., Driessen,A.J., and Konings,W.N. 1993.
Generation of a Proton Motive Vorce by Histidine decaboxylation and
Electrogenic Histidine/Histamine Antiport in Lactobacillus buchneri. J.
Bacteriol. Vol 175 (10). P: 2864-2870.
Yoshinaga, D.H. and Frank H.A. 1982. Histamine-Producing Bacteria in
Decomposing Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis). Appl. Envir. Micro. Vol 44 (2). P: 447-452.
PENULIS:
Yuniar Mulyani
Departemen Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran