SEPUTARPANGANDARAN.COM – Rencana Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata yang akan membentuk Sargas Jaga Leuweung mulai mendapat tanggapan. Salah satunya datang dari Setikat Petani Pasundan (SPP) Kabupaten Pangandaran.
Rencana tersebut dinilai tidak akan efektif dalam upaya mencegah pembalakan liar dan menjaga kelestarian kawasan hutan.
Katua Dewan Suro Serikat Petani Pasundan (SPP) Kabupaten Pangandaran, Arif Budiman mengaku kurang setuju dengan rencana Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata, untuk membentuk Satgas Jaga Leuweung di Kabupaten Pangandaran.
Arif mengatakan dirinya lebih setuju jika pihak desa dan masyarakat sekitar diberi wewenang untuk menjaga leuweung atau hutan. “Berikan saja kewenangan penuh untuk menjaganya, jelasnya, Jumat (27/12/2019).
Lanjut Arif, lebih baik jika penjagaan hutan tersebut diberikan kewenangangnya kepada desa, sebagai lembaga formal. Karena jika diberikan kepada salah satu kelompok atau kemunitas, kesannya seperti ada dikotomi (pengelompokan – red).
“Kalau memang ingin ada pendelegasian untuk menjaga leuweung, ya sudah sama desa saja,” terangnya.
Kata dia, jika pengeolaan hutan diserahkan ke desa, nantinya bisa menggunakan Anggaran Dana Desa (ADD) tidak perlu membebani APBN atau juga menggunakan APBD.
“Berikan kewenangan dan tanggung jawab pada desa untuk menjaga kawasan hutan yang ada dekat wilayahnya. Secara struktur birokrasi juga akan lebih mudah mengontrolnya,” tegas Arif.
Menurut Arif, sebelum membuat pasukan jaga leuweung, lebih baik harus melihat dulu histori kebelakang. Dimana hutan akan semakin rusak jika banyak yang menjaganya.
“Berdasarkan pada pengalaman yang terjadi selama ini, semakin banyak orang yang dilegalkan untuk menjaga hutan, semakin habislah hutan yang ada,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Arif juga tidak setuju jika ada istilah hutan konservasi atau hutan produksi.
“Itu yang salah, menurut terminologi saya hutan itu tidak bisa disekat-sekat istilahnya, kalau hutan ya hutan, tidak ada konservasi atau produksi. Didalam itu terdapat berbagai macam pepehonan, tidak hanya Jati dan Albasia saja,” terangnya.
“Lanjut dia, tidak ada kriteria yang jelas apa itu hutan konservasi dan apa itu hutan produksi. Apa penilaian dan indikatornya, terus siapa yang bisa menentukan jenis hutan itu, siapa coba?” tanyanya.
Arif mengatakan, masyarakat desa sekitar hutan lah yang mestinya dilibatkan menjaga hutan.
“Mereka yang pertama kali mendengar deru mesin penebang pohon serta hilir mudiknya kendaraan yang mengangkut kayu. Jadi merekalah yang efektif untuk menjaga kawasan hutan,” terang Arif. (*)