Kematian anak perempuan berusia 10 tahun akibat mengikuti tantangan menahan nafas di aplikasi TikTok, kemudian langkah yang sigap dan gerak cepat dari otoritas negara Italia yang meminta pengembang aplikasi TikTok, platform milik ByteDance berasal dari Cina ini agar memblokir pengguna aplikasi berusia di bawah 13 tahun.
Atas kejadian tersebut mengingatkan kita serta menegur kita dalam ruang lingkup pendidikan dan hubungannya dengan perilaku sosial masyarakat. Dimana proses pendidikan seharusnya memberikan satu atau dua menit untuk berpikir dalam melakukan tindakan. Lebih luas lagi, regulasi di dalam pendidikan di negeri ini memerlukan langkah sejenis, terutama bagi peserta didik di ranah pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Data Statista (2020) berdasarkan usia pengguna media sosial di Indonesia menyebutkan bahwa kategori usia 13-17 tahun pengguna laki-laki sejumlah 6,2 persen dan perempuan sejumlah 7,1 persen. Tidak jauh dari tahun 2019, data BPS menyebutkan persentase pengguna media sosial berusia 5-12 tahun sejumlah 7,93 persen, sedangkan usia 13-15 tahun sejumlah 7,86 persen. Fantastisnya angka tersebut berdampak terhadap pelbagai perilaku bagi peserta didik.
Kelompok umur tersebut seharusnya memiliki waktu lebih banyak untuk mengasah keterampilan dan minat untuk proses belajar demi meraih cita-cita di masa depan. Fakta empirik menyatakan jika kelompok umur tersebut cenderung menghabiskan waktu dengan gawai untuk berselancar dengan akun media sosial demi keinginan yang semu dibandingkan kebutuhannya yang bijak, misalkan membuat konten edukatif-informatif contoh etika berbicara, etika bermedia sosial, dan atau mengenalkan Bahasa dan kebudayaan Indonesia.
Tidak dapat ditolak memang, aktivitas anak-anak dalam bermedia sosial sangat menyita perhatian. O’Keeffe & Clarke-Pearson (2011) menyatakan bahwa 22 persen anak menggunakan beberapa media sosial selama 10 jam sehari, dan penelitian terbarunya menyebutkan yang kemudian terjadi adanya ekspresi online yang dilakukan dari kebiasaan buruk sehari-hari seperti penindasan fisik dan verbal secara maya, orientasi dan eksperimen seksual, masalah pribadi, dan kecenderungan lain yang mengakibatkan pengguna media sosial berdampak negatif.
Hal tersebut menurut O’Keeffe & Clarke-Pearson (2011) lebih lanjutnya dikarenakan kapasitas anak yang terbatas memahami aturan dan mengalami tekanan karena teman sebaya. Hasilnya kesehatan mental anak memburuk.
Persepsi lain terhadap penggunaan media sosial bagi kelompok umur anak dan remaja yakni ketidakmampuannya di dalam mengontrol informasi, sehingga ketika ada tantangan di media sosial seolah membuat diri mereka termotivasi kepada langkah negatif dan berujung merugikan diri sendiri.
Era platform TikTok diawali oleh anak bernama Bowo Alpenliebe yang karena ketenarannya ini pula banyaknya gerakan menolak TikTok hingga Kemkominfo sempat memblokir sementara pada tanggal 3 Juli 2018 dan bertahan selama sepuluh hari. Maka kita tak menampik bahwa larangan media sosial seharusnya dapat diajukan. Merujuk pada data Simfoni PPA sepanjang tahun 2020 telah terjadi 3,087 kasus kekerasan terhadap anak, di antaranya kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Angka tersebut sebagai gambaran yang tak dapat dibiarkan di tengah pandemi ini.
Maka dari itu platform media sosial substansinya bukan sekadar untuk tantangan ekstrim. Oleh karenanya, penting kiranya merekomendasikan kepada orang tua maupun pendidik untuk menetralisir gawai yang dimiliki anak-anak. Dimulai dengan mencegah lebih baik.
Banyak orang tua memiliki kesempatan terhadap perilaku anak yang menggunakan teknologi sebagai langkah pembelajaran yang efektif. Keuntungan orang tua dan anak yang berpartisipasi saling mendukung untuk menumbuhkan semangat penggunaan teknologi sehat dan edukatif.
Orang tua dapat mengajak anak untuk membuat konten blog, podcast, video, bahkan game edukasi bersama-sama. Secara spesifik orang tua dapat menyampaikan kepada anak pentingnya menggunakan media sosial secara bijak.
Untuk dapat menghindari penggunaan media sosial yang berdampak negatif terhadap anak dibutuhkan peran bersama di lingkungan keluarga dan kebijakan pemerintah. Sejalan dengan negara Italia yang sangat peduli terhadap korban dari platform media sosial dengan korban dari anak-anak.
Maka dari itu, pendidikan sejatinya dapat menjadi ruang yang menitikberatkan kepada proses berpikir. orang tua menggunakan kebijakan di dalam lingkungan keluarga, dan pemerintah menggunakan kebijakan dan otoritasnya untuk melindungi masyarakat serta masa depan bangsa. Pemerintah dapat meminta pemilik platform untuk membatasi penggunanya atau memberikan catatan demi bangsa di negeri kita tercinta.
Pendidikan berbasis teknologi bukan saja menjadi peluang bagi bangsa di negeri kita tetapi menjadi tantangan yang besar. Hadirnya platform media sosial di tengah-tengah kita harus diwujudkan untuk memberikan makna dan manfaat. Keberhasilan anak bermedia sosial dapat diukur seberapa banyak konten yang dihasilkan dengan dampak positifnya. Kita dapat mempertanyakan hal ini sebanyak mungkin, agar anak-anak sebagai generasi emas 2045 benar-benar terwujud. Sesungguhnya kita wajib mendidik anak-anak sejak dini tentang peranannya dalam media sosial untuk hal yang positif. Pertanyaan sederhananya perlukah media sosial dilarang ataukah kita perlu meresolusi pendidikan media sosial? (*)
Penulis :
Muh. Husen Arifin
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Cibiru dan Mahasiswa S3 Pendidikan IPS Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tinggal di Kabupaten Pangandaran.