Oleh: Ibnu Faizal dan Syawaludin A Harahap
Indonesia merupakan kawasan yang memiliki resiko tinggi terancamnya kelestarian ekosistem terumbu karang terutama pada Indonesia bagian barat. Ancaman terhadap terumbu karang yang paling potensial terutama disebabkan oleh aktivitas manusia antara lain karena efek pembangunan pada daerah pesisir, pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan dan metode penangkapan yang merusak terhadap sumberdaya ikan, pencemaran dan erosi.
Terumbu karang sebagai ekosistem khas perairan tropik, merupakan habitat berbagai biota laut untuk tumbuh dan berkembang biak dalam kehidupan yang seimbang. Terumbu karang yang ada saat ini masih dapat dipertahankan dengan baik apabila dilakukan pengelolaan secara profesional. Sejalan dengan itu, lingkungan ekosistem pesisir yang semakin baik dapat meningkatkan ketersedian sumberdaya serta mampu meningkatkan mitigasi resiko bencana di wilayah pesisir.
Proses perbaikan atau rehabilitasi secara alami pada terumbu karang yang kondisi habitatnya sudah rusak relatif sangat lama dan membutuhkan kondisi lingkungan yang benar-benar sesuai dan tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Diketahui bahwa pertumbuhan karang sangatlah lambat, misalnya karang dengan tipe pertumbuhan masif hanya dapat tumbuh antara 5 dan 25 milimeter per tahun. Sementara itu karang bercabang dapat tumbuh lebih cepat yaitu sekitar 20 sentimeter per tahun. Pertumbuhan karang akan optimum pada kondisi suhu perairan yang hangat yaitu 21–29° C.
Upaya peningkatan kuantitas dan kualitas ekosistem terumbu karang secara cepat dapat dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi yang salah satunya dengan menggunakan teknik tranplantasi karang. “Dalam beberapa studi menjelaskan bahwa upaya restorasi dan rehabilitasi terumbu yang berbasis pada metode transplantasi sebagian besar masih dalam tahap percobaan. Namun demikian, dengan pemilihan lokasi yang sesuai, jenis karang yang tepat dan perawatan yang baik akan menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang yang baik” terang Syawaludin A Harahap, M.Sc sebagai salah satu Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dan juga tim dalam riset ini.
Banyak metode transplantasi terumbu karang yang sudah diimplementasikan. Namun demikian, informasi tentang bagaimana kelangsungan hidup dan pertumbuhan terumbu karang serta performa sistem metode raksagon tersebut masih sangat sedikit. Riset ini menggunakan media rangka yang diberikan nama RaKsagon (Rangka Kubah Heksagon). Media ini terbuat dari rangka besi berbentuk kubah dengan bentuk pada bagian bawah dan tengahnya berupa heksagon (segi enam). “riset dengan media yang serupa juga pernah kami lakukan di Pangandaran, tepatnya di sekitar pasir putih Pantai Barat Pangandaran dan Pantai Timur Pangandaran pada tahun 2017 dan 2018” lanjut Syawal.
Pemasangan raksagon ditempatkan pada lokasi yang sudah ditentukan berada pada kedalaman 3, 5 dan 10 meter. Sebanyak 12 raksagon diturunkan untuk 3 stasiun pengamatan. Pada masing-masing stasiun terdapat 4 raksagon. Fragmen karang sebagai bibit diperoleh dari sekitar stasiun penempatan Raksagon. Bibit ini berasal dari koloni karang yang telah memenuhi syarat untuk dijadikan sumber induk atau berasal dari patahan karang di sekitar stasiun. Kemudian bibit karang diikatkan pada raksagon dengan menggunakan kabel ties. Masing-masing raksagon terdapat enam fragmen dengan 2-3 jenis karang yang tersedia.
Hasil yang didapatkan dari riset yang telah dilakukan sejak awal tahun 2022 ini menunjukan hasil yang menjanjikan. “Dari dua jenis karang yang kami transplantasikan, yaitu Acropora sp. Dan Pocillopora sp. Memberikan hasil Survival Rate (SR) masing-masing sebesar 91% dan 100%” ujar Ibnu Faizal, M.T, sebagai salah satu tim riset.
Tantangan yang dihadapi terhadap peforma karang antara lain datang secara antropogenik maupun non-antropogenik. Faktor antropogenik datang dari banyaknya sampah laut seperti ranting pohon dan plastik yang menumpuk tersangkut di rangka sehingga sangat besar berpotensi menutupi fragmen ataupun menganggu kestabilan rangka. Faktor non-antropogenik atau alami datang dari tumbuhnya biota kompetitor, Ascidian (Tunicata) Algae yang dapat menganggu proses pertumbuhan karang yaitu adanya kompetisi ruang. “Namun, kedua hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan monitoring secara berkala. Monitoring yang dimaksud adalah dengan melakukan pembersihan pada seluruh gangguan sehingga harapan hidup atau tumbuh dari fragmen karang dapat terjaga” tutup Ibnu menjelaskan hasil dari riset ini.
Penelitian yang didanai oleh Riset Inovatif Produktif (RISPRO) LPDP ini diharapkan dapat terus berlanjut dan dikembangkan sehingga rehabilitasi terumbu karang di Indonesia dapat diwujudkan dengan baik kedepannya.
Penulis:
Ibnu Faizal dan Syawaludin A Harahap.
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran