Penulis: Ir. Yayan Sugiyantoro, S.T. M.T., IPM., ASEAN Eng. *)
1. Pendahuluan
Pangandaran, yang terletak di ujung selatan Jawa Barat, memiliki pantai berpasir putih yang indah, ombak yang bagus untuk berselancar, dan ekosistem yang indah di sekitar Cagar Alam Pangandaran. Wilayah ini telah menjadi tempat wisata yang populer selama bertahun-tahun, dan pertumbuhannya yang cepat memiliki potensi untuk meningkatkan ekonomi regional dan nasional. Dengan luas sekitar 1.011,04 km2, Kabupaten Pangandaran berbatasan dengan Kabupaten Ciamis di sebelah utara, Kabupaten Cilacap di sebelah timur, Samudra Hindia di sebelah selatan, dan Kabupaten Tasikmalaya di sebelah barat. Kabupaten Pangandaran berada di bagian paling tenggara dari Provinsi Jawa Barat. Di sebelah timurnya, itu berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Menurut Asep Nurdin Rosihan Anwar diambil dari artikel di sindonews.com, sejarah Pangandaran dimulai dengan berdirinya Kerajaan Pananjung di wilayah yang sekarang disebut Pangandaran pada tahun 1400-an. Kerajaan ini berkembang bersamaan dengan Kerajaan Galuh, yang berpusat di Ciamis. Kerajaan Pananjung, yang dipimpin oleh Prabu Anggalarang, hancur karena serangan bajak laut. (Maarif, 2014). Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Pangandaran menjadi bagian dari Kabupaten Sukapura. Setelah Republik Indonesia merdeka, Pangandaran menjadi bagian dari Kabupaten Ciamis di Jawa Barat. Pangandaran akhirnya resmi menjadi kabupaten setelah disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 pada tahun 2012. Hari jadi yang ditetapkan pada tanggal 25 Oktober 2012 menjadikan Kabupaten Pangandaran sebagai kabupaten termuda di Jawa Barat, (Mulyadi, 2019).
Kabupaten Pangandaran memiliki Pendapatan Asli Daerah terbesar dari sektor pariwisata, sejalan dengan Visi Kabupaten Pangandaran yang ingin menjadikan Pangandaran sebagai tujuan wisata berkelas dunia. Kabupaten Pangandaran ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dalam RIPPRNAS 2010-2025. Selain itu, di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Pangandaran juga telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan wilayah (PKW), pusat pengumpulan dan distribusi skala regional sesuai RTRW 2009-2029 Provinsi Jawa Barat.
Industri pariwisata berpotensi menjadi motor penggerak pembangunan daerah, perkembangan pemikiran tentang perencanaan wisata Pangandaran dimulai sejak zaman kolonial hingga saat ini. Lebih lanjut, perkembangan ini dapat dilihat dengan membaginya menjadi beberapa periode dan merinci landasan pemikiran di setiap periode perkembangan perencanaan ini.
2. Periode Perkembangan Pemikiran
Berikut adalah perkembangan pemikiran perencanaan wilayah Pangandaran dengan membagi periode perkembangan dan merinci landasan pemikiran dalam setiap periode ini.
2.1 Era Kerajaan dan Kolonial (1400 an – 1945)
Pada masa Kerajaan Pananjung, kawasan wisata Pangandaran saat itu menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti dan peninggalan budaya berupa reruntuhan bangunan kuno. Sedangkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Pananjung menjadi taman baru oleh Y. Eycken (Residen Priangan) dengan melepaskan seekor banteng, tiga ekor sapi, dan beberapa ekor rusa. (Marmuksinudin, 2012). Keberadaan flora dan fauna yang beragam membuat Pananjung dijadikan kawasan konservasi sejak Desember 1934 dengan luas mencapai 530 hektar (Mukhaer, 2021).
2.2 Era Kemerdekaan dan Pemikiran Perencanaan Modern (1970 – 2000)
Pananjung ditetapkan sebagai cagar alam pada tahun 1961 setelah ditemukan Rafflesia patma. Pada tahun 1978, sebagian dari area seluas 37,70 hektar diubah menjadi taman wisata untuk memenuhi kebutuhan rekreasi yang meningkat. Secara keseluruhan, kawasan alam yang dilindungi mencapai 1000 hektar setelah kawasan perairan sekitarnya seluas 470 hektar diresmikan sebagai cagar alam laut pada tahun 1990.
Pangandaran mungkin telah menjadi tujuan wisata sejak lama, tetapi pelopor modernnya adalah sekelompok wisatawan petualang yang menemukan pesona alam pantai ini pada tahun 1970-an. Mereka terpesona oleh keindahan alam, ombak, dan kehidupan bawah lautnya. Inilah awal mula perjalanan pemikiran perencanaan pariwisata di Pangandaran. Periode ini ditandai dengan eksplorasi awal oleh sekelompok petualang dan penjelajah yang menciptakan buzz di antara para pecinta alam yang menginginkan pengalaman eksotis. Pada saat itu, Pangandaran masih merupakan tempat yang relatif terisolasi dengan infrastruktur yang sangat terbatas. Para petualang yang pertama kali datang ke Pangandaran berfokus pada menjaga keaslian lingkungan alam dan mengeksplorasi kekayaan alam yang belum terjamah. Mereka adalah pionir yang membuka jalan bagi perkembangan lebih lanjut di masa depan.
Perencanaan pada periode ini lebih bersifat informal, dengan tujuan utama adalah melestarikan keindahan alam dan menjaga lingkungan tetap alami. Pada periode ini, pemerintah mulai memahami potensi pariwisata Pangandaran dan melakukan investasi dalam pengembangan infrastruktur. Jalan raya yang lebih baik dibangun, dan fasilitas seperti hotel, restoran, dan sarana umum lainnya mulai berkembang. Perkembangan ini membuka akses ke Pangandaran bagi lebih banyak wisatawan domestik dan mancanegara. Pariwisata mulai menjadi salah satu sektor ekonomi utama di daerah ini. Landasan pemikiran pada periode ini adalah pertumbuhan ekonomi melalui pariwisata. Fokus utama adalah meningkatkan aksesibilitas, akomodasi, dan fasilitas untuk mendukung pertumbuhan industri pariwisata.
2.3 Perencanaan Berkelanjutan (2000 – Sekarang)
Geliat wisata Pangandaran sempat terhenti ketika bencana alam tsunami melanda Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006. Gempa pemicu (M 7,7) terjadi pada kedalaman 34 km dan berlokasi 225 km dari pantai Pangandaran (9.2220 LS, 107.3200 BT) (Fritz et.al., 2007; Lavigne et.al., 2007; Mori et.al., 2007; Reese et al., 2007). Gempa saat itu tidak dirasakan dengan kuat oleh penduduk. Akibatnya, sulit untuk mendeteksi tsunami pada saat itu (Fritz et.al., 2007). Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat terkait bencana tsunami menyebabkan lebih dari 600 orang meninggal, 65 orang hilang, 9299 orang dalam perawatan medis, dan lebih dari 75.000 orang mengungsi (Lavigne et.al., 2007; Mori et.al., 2007). Kedalaman aliran maksimum setelah ombak pecah mencapai 5 meter dan ketinggian lari maksimum adalah 15,7 meter (Lavigne et.al., 2007). Sebagai dampak dari kerusakan tsunami, lebih dari 3.000 rumah dan fasilitas lain mengalami kerusakan parah di Pangandaran (Fritz et.al., 2007; Lavigne et.al., 2007).
Tsunami Pangandaran meninggalkan trauma yang mendalam bagi masyarakat, kejadian tersebut membuat pariwisata Pangandaran lumpuh total. Terjadi eksodus besar-besaran masyarakat yang tinggal di kawasan wisata menuju daerah pinggiran Pangandaran yang dirasa aman dari resiko bencana tsunami. Mereka menjual aset mereka di kawasan wisata dengan harga yang murah, dan hal ini menarik minat banyak investor swasta dari luar Pangandaran untuk membeli aset masyarakat lokal untuk selanjutnya mereka kembangkan menjadi villa, hotel, dan sarana penunjang wisata lainnya. Hal ini menjadi fenomena unik dimana bencana ternyata menjadi pemicu perkembangan wisata Pangandaran menjadi lebih maju.
Lebih dari satu dekade setelah tsunami tahun 2006, Wilayah Pangandaran mengalami perkembangan yang signifikan. Fokus pemerintah lokal dalam sektor pariwisata telah meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat di wilayah Pangandaran.
Kecenderungan pemikiran perencanaan pariwisata di Pangandaran bergeser ke arah berkelanjutan. Produk-produk hukum menjadi pedoman dalam sebuah perencanaan daerah. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pangandaran Nomor 7 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2018-2025, dijabarkan petunjuk dan pedoman umum dalam pemeliharaan budaya dan potensi kepriwisataan di tingkat daerah. Kesadaran tentang perlunya pariwisata yang berkelanjutan mulai muncul di Pangandaran, seiring dengan perhatian global terhadap lingkungan.
Masyarakat lokal juga semakin terlibat dalam manajemen dan pengembangan pariwisata. Pemikiran perencanaan di masa sekarang adalah menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan dan budaya. Konsep pariwisata berkelanjutan menjadi landasan utama, dengan fokus pada menjaga kelestarian alam, mendukung masyarakat lokal, dan meminimalkan dampak negatif pariwisata.
Pemikiran perencanaan pariwisata di Pangandaran terus berkembang seiring berjalannya waktu. Beberapa kecenderungan masa depan yang bisa diidentifikasi meliputi upaya untuk menjaga kelestarian alam dan budaya yang terus menjadi fokus utama dalam pemikiran perencanaan. Program pelestarian lingkungan, edukasi, dan pengelolaan yang berkelanjutan terus ditingkatkan. Ini termasuk program pelestarian penyu dan mangrove yang telah berhasil menjaga populasi penyu dan menjaga pantai dari abrasi di Pangandaran. Pengembangan wisata budaya menjadi lebih penting di masa depan. Pengenalan wisata budaya dan kegiatan berbasis masyarakat membantu masyarakat lokal mendapatkan manfaat ekonomi dari pariwisata. Hal ini menciptakan peluang bagi wisatawan untuk berinteraksi dengan budaya lokal dan meningkatkan pemahaman mereka tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Pangandaran.
Pemanfaatan teknologi dalam pemikiran perencanaan akan semakin berkembang. Aplikasi perjalanan yang interaktif, solusi berbasis data untuk pengelolaan kunjungan wisatawan, dan pemanfaatan teknologi untuk menjaga keamanan dan kenyamanan wisatawan menjadi bagian integral dari perencanaan pariwisata di masa depan.
Kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, semakin diperkuat. Hal ini dapat dilihat dari pengembangan kawasan penunjang pariwisata yang baru setelah Pangandaran menjadi sebuah kabupaten. Kawasan strategis yang berada di pusat wisata yang pada masa lalu terbengkalai, saat ini berkembang dengan masuknya investor swasta yang mengembangkan kawasan seluas ratusan hektar menjadi sebuah kawasan penunjang pariwisata dengan dibangunnya villa, pusat perbelanjaan, dan hiburan.
Selain kemitraan pemerintah-swasta, keterlibatan dan partisipasi masyarakat lokal dan akademisi diikuti dengan perbaikan komponen penunjang pariwisata yaitu attraction, accessibility, amenities dan ancillaries sangat penting dalam mendukung kemajuan sektor pariwisata dan meningkatkan kunjungan wisatawan (Andrianto & Sugiama, 2016). Untuk mendorong masyarakat lokal secara efektif mendukung pembangunan pariwisata berkelanjutan, rencana strategis pariwisata perlu dipertimbangkan dari semua sudut pandang berdasarkan dampak ekonomi, sosial budaya dan lingkungan dari pariwisata terhadap masyarakat lokal (Han et.al, 2023). Hal ini akan menciptakan model pengembangan yang lebih berkelanjutan dan berdaya saing.
3. Kesimpulan
Pangandaran sebagai tujuan wisata berawal dari perencanaan kawasan pelestarian alam pada masa penjajahan Hindia Belanda. Seiring berjalannya waktu dan memasuki era kemerdekaan, potensi Pangandaran dikembangkan tidak hanya pada pelestarian alam, akan tetapi berfokus pada perkembangan ekonomi melalui pendapatan dari sektor pariwisata. Pangandaran saat ini memiliki visi menjadi tujuan wisata yang berkelas dunia dengan terus melakukan pembenahan komponen penunjang pariwisata untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor pariwisata. Landasan pemikiran pembangunan kawasan wisata Pangandaraan saat ini adalah berbasis wisata berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
- Andrianto, T., & Sugiama, G. (2016). The Analysis of Potential 4A’s Tourism Component in the Selasari Rural Tourism, Pangandaran, West Java. Asia Tourism Forum 2016 – The 12th Biennial Conference of Hospitality and Tourism Industry in Asia (ATF-16).
- Anderson, LT. 1995. Guidelines for preparing urban plans. Washington DC: Planners Press.
- Badan Pusat Statistik. (2023). Kabupaten Pangandaran dalam Angka 2023.
- Banfield, Edward C. (1959). Ends and means in planning. International Social Science Journal, XI (3).
- Commonwealth of Australia. (2000). The Logical Framework Approach. AusGUIDElines.
- Dina M. Omar. 2017. The rise of New Town Policy to deal with urban growth: The Case of Egypt. Tugas kuliah.
- Fritz, H.M., Kongko, W., Moore, A., McAdoo, B., Goff, J., Harbitz, C., Uslu, B., Kalligeris, N., Suteja, D., Kalsum, K., Titov, V., Gusman, A., Latief, H., Santoso, E., Sujoko, S., Djulkarnaen, D., Sunendar, H., & Synolakis, C. (2007), Extreme runup from the 17 July 2006 Java tsunami, Geophys. Res. Lett. 34, L12602.
- Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Pangandaran. (2016). Peraturan Bupati Pangandaran Nomor 39.A Tahun 2016 tentang Sejarah Pembentukan Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa Barat
- Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Pangandaran. (2018). Peraturan Bupati Nomor 34.A Tahun 2018 tentang Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2021
- Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Pangandaran. (2018). Peraturan Daerah Kabupaten Pangandaran Nomor 3 Tahun 2018 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Kabupaten Pangandaran Tahun 2018-2038.
- Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Pangandaran. (2018). Peraturan Daerah Kabupaten Pangandaran Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2018-2025.
- Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Pangandaran. (2022). Peraturan Bupati Pangandaran Nomor 7 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Perkotaan Pangandaran.
- Lavigne, F., Gomez, C., Giffo, M., Wassmer, P., Hoebreck, C., Mardiatno, D., Prioyono, J., & Paris, R. (2007). Field observations of the 17 July 2006 Tsunami in Java, Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 7, 177–183.
- Maarif, S. (2014). Pangandaran dahulu merupakan pusat kerajaan? Diakses dari https://daerah.sindonews.com/berita/847231/21/pangandaran-dahulu-merupakan-pusat-kerajaan
- Marmuksinudin, U. (2012). Pemekaran wilayah, Pangandaran optimis lebih berkembang. Diakses dari https://daerah.sindonews.com/berita/690652/21/pemekaran-wilayah-pangandaran-optimis-lebih-berkembang
- Mori, J., Mooney, W., Afnimar., Kurniawan, S., Anaya, A., & Widiyantoro, S. (2007). The 17 July 2006 Tsunami Earthquake in West Java, Indonesia. Seismological Research Letters 2007. 78 (2), 201–207.
Mukhaer, A. (2021). - Cagar Alam Pananjung Pangandaran: Konservasi dan Situs Sejarah. Diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132577201/cagar-alam-pananjung-pangandaran-konservasi-dan-situs-sejarah
- Mulyadi, I. (2019). Sejarah Singkat Berdirinya Kabupaten Pangandaran. Diakses dari https://seputarpangandaran.com/sejarah-singkat-berdirinya-kabupaten-pangandaran/
- Reese, S., Cousins, W. J., Power, W. L., Palmer, N. G., Tejakusuma, I. G., & Nugrahadi, S. (2007).
- Tsunami vulnerability of buildings and people in South Java – field observations after the July 2006 Java tsunami, Nat. Hazards Earth Syst. Sci, 7, 573–589.
*) Penulis sedang menempuh pendidikan di Program Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang