Pangandaran – Cagar Alam Pananjung merupakan kawasan konservasi di Kabupaten Pangandaran. Wilayah hutan yang diapit dua teluk ini memiliki kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem yeng dilindungi dan dikembangbiakan secara alami.
Secara administratif, Cagar Alam Pananjung berada di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran. Luas keseluruhan area lahan Cagar Alam Pananjung mencapai 1000 hektare.
Cagar Alam Pananjung memiliki daya tarik wisata, area seluas 37,7 hektare dijadikan sebagai Taman Wisata Alam (TWA). Sisanya, Cagar Alam Pananjung dibagi menjadi dua kawasan, yakni area Cagar Alam seluas 419,3 hektare, dan area Cagar Alam Laut seluas 470 hektare.
Kini, kawasan TWA sendiri dikelola oleh Perum Perhutani. Sementara kawasan Cagar Alam dibawah pengelolaan BKSDA.
Baca juga: Padang Edelweis Terluas se-Asia Tenggara, Ada di Papandayan, Garut
Meski sebagai kawasan perlindungan satwa dan tumbuhan langka, Cagar Alam Pananjung juga dijadikan sebagai kawasan wisata. Sebagai catatan, para pengunjung yang datang tidak merusak keberadaan kawasan sebagai habitat satwa dan tumbuhan langka di sana.
Selain binantang endemik Hutan Pananjung, di antaranya primata sejenis monyet dan lutung.
Pemerintah Hindia Belanda pernah mendatangkan satwa dari luar kawasan, yakni rusa dan banteng Jawa (Bos javanicus).
Hingga kini, koleksi rusa masih lestari dan terus berkembang biak. Sementara banteng sendiri, menurut informasi sudah tidak ada lagi.
Punahnya banteng-banteng koleksi Cagar Alam Pananjung, terutama terjadi pada tahun 1982 hingga 1983, akibat letusan Gunung Galunggung di Tasikmalaya.
Koleksi banteng di Cagar Alam Pananjung didatangkan Pemerintah Hindia Belanda ketika Pananjung dijadikan sebagai hutan buru pada tahun 1930-an.
Ketika mempersiapkan Pananjung sebagai hutan buru, pada tahun 1934, dilepaskan banteng yang jumlahnya mencapai 60 hingga 80 ekor.
Populasinya lumayan bagus, itu terjaga sampai tahun 1982. Setelah Gunung Galunggung meletus sangat signifikan pengaruhnya pada habitat banteng di Cagar Alam Pananjung. Sampai pakannya dan sumber mata air minumnya tertimbun abu vulkanik. Dari situ penurunan populasi banteng mulai drastis.
Meskipun petugas sudah berupaya membuat bak air minum dan diambilkan rumput dari luar sebagai makanannya, namun tampaknya banteng-banteng itu kurang menyukai pakan yang diambilkan manusia. Satwa ini, hanya menyukai makanan alami yang sudah berada di alam.
Abu vulkanik Galunggung menutup hamparan rumput sebagai pakan satwa banteng terjadi cukup lama.
Abu vulkanik menutup rumput selama 8 bulan. Pada tahun 1997 satwa banteng ini masih terpantau ada, namun sekarang sudah tidak ada.
Setelah punahnya banteng, untuk melengkapi koleksi Cagar Alam Pangandaran, pada tahun 2003, dipopulasikan delapan ekor sapi bali. Bentuk sapi bali ini, sangat mirip dengan banteng. Meski begitu, perkembangbiakannya tidak sebagus banteng dahulu.
Koleksi sapi Bali yang berada di kawasan cagar alam terkadang dapat dijumpai di padang penggembalaan Cikamal atau disebut juga lapangan Banteng, namun jumlahnya terus berkurang.
Tinggal Kenangan
Punahnya puluhan Banteng penghuni Cagar Alam Pananjung, tentu sangat disayangkan semua pihak.
“Kalau saya pernah melihat banteng yang ada di Cagar Alam. Kalau saya lebih familiar menyebutnya di Panenjoan Banteng kalau tahunnya sudah lupa.” tutur usman (53) warga Pangandaran.
Pengalaman melihat Banteng di Panenjoan Banteng, menurutnya, suatu yang istimewa. Pasalnya satwa itu jarang menampakan diri.
Dia pun berharap kenangan itu bisa terulang, dengan didatangkan lagi Satwa Banteng di Cagar alam. “Saya berharap anak cucu kita juga bisa menyaksikan Banteng secara langsung di alam liar,” ujarnya***
Sumber : Swarapangandaran