Indeks
Travel  

Mendaki Gunung dan Bahaya yang Mengintainya

“Yang kita butuhkan sekarang adalah kaki yang berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang bekerja lebih dari biasanya, mata yang menatap lebih lama dari biasanya, leher yang lebih sering terangkat, lapisan kemauan yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang bekerja. lebih keras dari biasanya, dan mulut yang akan selalu berdoa.

Paragraf di atas adalah petikan dari film legendaris 5cm yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya Donny Dhirgantoro. Sebuah film luar biasa yang menyuguhkan cerita tentang persahabatan dan cinta dengan latar belakang indahnya pemandangan Gunung Semeru. Perjalanan emosional dan dramatis itu berhasil dirangkum dalam waktu berjalan selama 126 menit. Kehadiran film ini juga sangat berpengaruh terhadap kebangkitan hobi mendaki gunung di Indonesia.

Pendakian Gunung Semeru mengalami puncak yang sangat signifikan saat itu (2013). Pada 20 Mei 2013, diperkirakan ada lebih dari 2.000 pendaki hari itu. Menurut Kepala Balai Pengelolaan Taman Nasional Regional II, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Sucipto, peningkatan itu akibat film 5cm.

Namun, meningkatnya minat mendaki gunung belum dibarengi dengan pengetahuan tentang teknik mendaki gunung, etika dan wawasan. Bahaya selama pendakian sangat besar dan sulit dihindari. Bahkan pendaki yang sangat berpengalaman pun sering “kalah” melawan kekuatan alam ini.

Pendaki di puncak Gunung Gede, Jawa Barat

Apa saja bahaya yang menyertai pendaki?

Pengumuman. Gesek ke bawah untuk melanjutkan

1. Hipotermia

Hipotermia adalah urutan pertama karena lebih sering terjadi dan banyak orang salah menanganinya. Pada dasarnya tubuh manusia memiliki mekanisme yang mengatur agar suhu tubuh tetap pada titik normalnya, yaitu 36,5 – 37,5 derajat Celcius, agar tidak mengikuti suhu lingkungan. Masalahnya, mendaki gunung adalah perjalanan melalui daerah dengan suhu ekstrem dan ketersediaan bantuan medis jelas terbatas. Saat melewati daerah yang sangat dingin, kemampuan tubuh untuk menghasilkan panas lebih sedikit dibandingkan dengan panas yang hilang. Saat ini terjadi, saat itulah hipotermia mulai terasa.

Penyebab hipotermia dapat berupa hal-hal yang terkadang luput dari perhatian, seperti memakai baju basah, tidak memakai jaket, perut kosong dan mengkonsumsi minuman beralkohol. Terkadang penderita juga terlambat menyadari kondisi suhu tubuhnya yang turun drastis.

Mengatasi hipotermia sebenarnya merupakan konsep yang sederhana, yaitu mengembalikan suhu tubuh pasien ke kondisi normal dengan memodifikasi lingkungan.

sumber: kompas.com

Hal pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa apakah pasien memakai pakaian basah dan segera menggantinya dengan pakaian yang kering dan tebal. Pastikan juga lokasi yang digunakan kering dan terlindung dari angin. Jika semuanya sudah siap, coba berikan minuman hangat dan makanan manis untuk menjaga suhu tubuh dari dalam. Pantau juga penderitanya karena dapat membantu menjaga suhu ruangan. Selain itu, pendamping dapat membantu menjaga kesadaran pasien, karena pada tingkat tertentu pasien mungkin mulai kehilangan kesadaran bahkan merasa panas dan melepas pakaiannya atau dipanggil. Membuka baju secara paradoks.

2. Hipoksia

Semakin tinggi suatu tempat di atas permukaan laut, semakin rendah kadar oksigennya. Mendaki gunung tentunya berhadapan dengan perubahan ketinggian yang berdampak pada menipisnya kadar oksigen. Ironisnya, mendaki gunung merupakan aktivitas fisik yang justru membutuhkan suplai oksigen yang baik dalam tubuh. Hipoksia terjadi ketika kadar oksigen yang terkuras memengaruhi sistem kardiovaskular, vaskular, dan pernapasan.

Hipoksia menghantui siapa saja, termasuk pendaki profesional. Pada 2012, Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo menghembuskan nafas terakhirnya saat mendaki Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Penyebab pasti kematiannya memang perlu ditentukan melalui otopsi, namun beberapa gejala menunjukkan hipoksia.

Wakil Menteri ESDM 2012 Widjajono Partowidagdo

Hipoksia ditandai dengan sesak napas, sakit kepala, batuk, dan tubuh kendur. Mengatasi hipoksia adalah tentang meningkatkan pasokan oksigen kembali ke pasien. Hal pertama yang bisa dilakukan dengan membantu pasien dengan tabung oksigen. Kemudian kendurkan pakaian pasien seperti ikat pinggang dan kancing kerah agar sirkulasi udara lebih lancar dan tidak sesak. Segera pindahkan pasien ke lokasi yang lebih rendah dengan kadar oksigen lebih tinggi.

3. Keracunan gas

Indonesia tepat berada di garis depan Cincin api. Gunung berapi aktif membentang dari Sumatera, Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara. Beberapa gunung berapi aktif memiliki kawah terbuka dan terus mengeluarkan gas beracun darinya. Hal ini diantisipasi pengelola trail dengan melarang pendaki mendekati mulut kawah atau area yang terpapar gas beracun.

Suasana Puncak Mahameru

Gunung Semeru adalah salah satu gunung berapi paling populer di Indonesia. Jejak kengerian gas beracun dan aktivitas vulkanik Gunung Semeru terlihat di puncaknya yang tidak ditumbuhi tumbuhan. Soe Hok Gie adalah salah satu korban gas beracun Gunung Semeru pada tahun 1969. Saat itu, Gie sudah sampai di puncak Mahameru pada sore hari. Sambil menunggu rekannya yang tertinggal, Gie duduk berdua dengan rekan pendakiannya. Karena massa gas beracun itu lebih kecil dari oksigen, Gie dan teman-temannya yang sedang duduk terpapar gas beracun tersebut, sedangkan rekan-rekannya yang lain tidak terpapar karena masih berdiri. Akhirnya Gie dievakuasi dan kemudian dimakamkan.

Potret Soe Hok Gie

Untuk menghindari risiko paparan gas beracun pada gunung berapi, beberapa hal harus diperhatikan, yaitu mengidentifikasi jenis gunung yang akan didaki, mengikuti jalur pejalan kaki yang ditentukan pengelola, tidak mendaki puncak jika dilarang dan membaca petunjuk alam. dan arah angin.


Masih banyak bahaya lain yang mengintai pendaki seperti tersesat, kelelahan, binatang buas, jatuh ke jurang dan lain-lain. Mendaki gunung bukanlah lelucon. Keterampilan, pengalaman, dan wawasan khusus diperlukan untuk menghindari bahaya. Keindahan yang didapat selama perjalanan adalah bayaran yang pantas bagi para pendaki yang telah mempersiapkan diri dengan baik dan mematuhi aturan alam. Jangan pernah meremehkan alam karena resikonya adalah kematian.

Exit mobile version