PANGANDARAN – Ibarat buku, masih banyak bab kosong dalam penelusuran sejarah Kabupaten Pangandaran. Dari mana ia bermula hingga menjadi sebuah kabupaten otonom? Jawaban yang didapat sering kali sebatas potongan-potongan cerita dengan bumbu “konon katanya”, bahkan tak jarang bercampur mitos.
Tulisan ini adalah ikhtiar untuk menambah perbendaharaan pustaka menyangkut sejarah Kabupaten Pangandaran.
Lebih khusus, penulis tergerak untuk menelusuri perkembangan geopolitik yang menandai berbagai perubahan dalam urusan administrasi kewilayahan di Pangandaran.
Bermula dari Sunda/Galuh
Mengacu pada manuskrip Bujangga Manik, batas wilayah kekuasaan Sunda/Galuh di sebelah timur adalah Sungai Cipamali (sekarang Kali Pemali/Kali Brebes) yang berada di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Jika di tarik lurus ke selatan, wilayah Sunda/Galuh mencakup Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas hari ini.
Berdasarkan gambaran tersebut, wilayah Pesisir Pangandaran bisa dipastikan berada di dalam teritori Kerajaan Sunda/Galuh. Hal ini diperkuat fakta bahwa warga Pesisir Pangandaran mewarisi kebudayaan Sunda, termasuk bahasanya.
Temuan sejumlah artefak bercorak Hindu-Budha di wilayah Kabupaten Pangandaran, termasuk Situs Batu Kalde, menunjukan bahwa pada masa lampau, wilayah ini tidak bebas dari hierarkis kekuasaan. Namun begitu, belum ditemukan sumber primer yang menerangkan bagaimana persisnya hubungan kekuasaan yang berlaku di wilayah ini.
Selama berabad-abad lamanya, Pesisir Pangandaran tetap menjadi bagian dari kerjaan Sunda/Galuh. Kondisi ini bertahan hingga Kesultanan Sumedang sebagai pewaris terakhir Kerajaan Sunda/Galuh menyerahkan kekuasaanya kepada Kesultanan Mataram. Hal ini menandai berakhirnya kekuasaan Sunda/Galuh di Tanah Sunda.
Pangandaran dalam Catatan Bujangga Manik
Catatan Perjalanan Bujangga Manik sementara ini merupakan literatur tertua yang memiliki asosiasi dengan Pangandaran secara kewilayahan. Beberapa nama tempat yang disebutkan Bujangga Manik dalam naskah, berkesesuaian dengan nama-nama tempat di kawasan Kabupaten Pangandaran hari ini.
Dalam naskah yang diduga peneliti berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 tersebut, Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda, dikisahkan dalam perjalanannya melintasi Sungai Cikutrapi(ng)gan (Ciputrapinggan) lalu mengunjungi tempat bernama Pana(n)jung (Pananjung).
Sacu(n)duk aing ka Bakur/ka muhara Cita(n)duyan/ku ngaing geus kaleu(m)pangan/datang aing ka Cimedang/meu(n)tas di Cikutrapi(ng)gan/cu(n)duk aing ka Pana(n)jung/ka gedeng Nusa/ Wuluhen/meu(n)tas aing di Ciwulan/banyating di Ciloh-Alit/na muhara Pasuketan/ta(ng)geran na Hujung Pusus.
Di pesisir selatan Tanah Sunda ini, sejumlah sejarawan menduga Bujangga Manik mendatangi tempat peribadatan Hindu, yang kini dikenal sebagai situs Batu Kalde. Saat ini, Situs Batu Kalde masuk dalam kawasan Taman Wisata Alam Pananjung di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran.
Pada naskah ini, Bujangga Manik sama sekali tidak menyebut lokasi bernama Pangandaran. Penulis menduga, pada kurun waktu naskah ini dibuat (abad ke-15/abad ke-16), Pangandaran sebagai nama wilayah belum dikenal.
Pangandaran dalam Peta Belanda
Pada salah satu peta buatan VOC dari abad ke-17, tergambar kawasan Pesisir Pangandaran. Dalam peta koleksi lembaga Nationaal Archief Belanda tersebut, wilayah perairan teluk yang mengapit hutan Pananjung ditandai sebagai Mauritius Bay (timur) dan Dirk de Vriesen Bay (barat).
Dua penanda geografi tersebut sepertinya diberikan Belanda dengan mengadopsi nama tokoh-tokoh penting dari bangsa mereka untuk menandai wilayah perairan di tepi Samudera Hindia tersebut. Hingga masa Perang Dunia II, informasi kemiliteran Belanda masih menyebut wilayah Pangandaran sebagai Maurits-Baai (sebelumnya Mauritius Bay) dan Dirk de Vries Baai (sebelumnya Dirk de Vriesen Bay).
Masih dalam peta tersebut, di sebelah barat teluk tertulis wilayah bernama ‘Kideolang’. Mengacu pada koordinat lokasi tersebut, bisa dipastikan bahwa wilayah yang dimaksud adalah Cijulang hari ini. Wilayah ‘Kidoelang’ tersebut terlihat dalam peta merupakan bagian dari sebuah wilayah lebih luas bernama ‘District Soekapoura’.
Sementara pada peta perencanaan pembangunan jalur kereta api Banjar-Parigi tahun 1910, nama-nama daerah di wilayah Pesisir Pangandaran sudah tercatat lebih lengkap. Hanya saja, belum ditemukan daerah administratif bernama “Pangandaran” dalam peta tersebut.***