Merah Putih. dengan – Aparat kepolisian di Luwu Timur diduga mengeluarkan surat yang ditujukan kepada PT Bintang Eight Resources (BDR) untuk menangguhkan pembayaran nikel yang telah dikirim PT Citra Lampia Mandiri (CLM) saat masih di bawah pimpinan Helmut Hermawan atau HH.
Diduga surat bernomor B/1197/XI/RES.1.8./2022 tertanggal 16 November 2022 itu merupakan bagian dari kepentingan tersembunyi aparat keamanan dalam kisruh yang menyelimuti pimpinan perusahaan tambang PT CLM.
Baca juga:
Komnas HAM mendesak polisi untuk memberikan hak kesehatan kepada pengusaha rumah tangga
Pengacara Helmut Hermawan, Rusdianto Matulatuwa mengatakan polisi bertindak berlebihan dengan munculnya surat tersebut. Padahal, masalah pembayaran dalam kasus ini bukan urusan polisi.
Menurut dia, perangkat itu menyalahgunakan kewenangannya dengan mencampuri urusan perdata antara dua pihak, yakni HH dan ZAS terkait PT CLM.
“Kasus pembayaran ini murni perdata, sedangkan polisi sebagai aparat hukum tugasnya hanya menjaga keselamatan dan keamanan. Munculnya surat ini jauh melampaui kewenangannya dan justru menegaskan adanya keberpihakan antara kedua belah pihak untuk perselisihan ini,” kata Rusdi dalam keterangannya.
Menurutnya, penandatanganan kontrak jual beli nikel sudah dilakukan jauh sebelum proses pidana dan sebagai pembeli, PT Bintang Eight Resources wajib melakukan pembayaran.
“Ya, memang sebelum proses pidana, Anda bisa melihat polisi dengan surat itu terlihat lebih antusias dari pihak yang bersangkutan. Polisi memiliki kepentingan yang sangat kuat dalam kasus ini. Apa ini? cara negatif,” katanya.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Gajah Mada Muhammad Fatahillah Akbar menilai hak keperdataan seseorang tidak hilang meski dituntut secara pidana.
“Hak perdata tidak hilang dalam proses pidana. Bahkan pencabutan hak hanya bisa diputuskan oleh pengadilan sebagai pidana tambahan,” ujar Akbar.
Menurutnya, dalam proses penyidikan polisi, pembatasan hak hanya bisa terjadi melalui tindakan paksaan seperti penyitaan. Namun, kata dia, jika aset itu sah, seperti pembayaran, tidak bisa dibatasi karena tidak termasuk dalam aset yang bisa disita.
“Kecuali jika harta itu hasil kejahatan,” lanjutnya.
Dia menambahkan, polisi tidak berwenang melarang pembeli melakukan pembayaran setelah menandatangani kontrak dagang, sekalipun pihak pertama sedang dalam proses pidana.
Selain itu, perjanjian kerjasama dilakukan sebelum penyidikan kasus pidana. Karena itu, menurut dia, upaya paksa yang dilakukan pihak kepolisian tidak memiliki dasar hukum.
“Kalau (penyalahgunaan wewenang) perlu evaluasi lebih lanjut, intinya upaya paksa ini tidak ada landasan hukumnya,” ujarnya.
Kasus HH ini menjadi pusat perhatian KPK, setelah IPW mengecam Wakil Menteri Hukum dan HAM atas dugaan kasus Pungli.
Baca juga:
Kapolri meminta tanggapan atas dugaan kriminalisasi pengusaha pertambangan HH