MerahPutih.com – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengungkapkan banyak pasal pidana dalam UU Pemilu No 7 Tahun 2017 yang bisa multitafsir dan tidak berlaku sehingga menjadi salah satu kendala dalam penanganan tindak pidana pemilu.
“Banyaknya norma pidana dalam UU Pemilu menunjukkan pembuat kebijakan lebih mengutamakan penanganan pidana (premium remedium) sebagai cara mengatasi penyimpangan dalam penyelenggaraan pemilu,” kata Puadi, anggota Bawaslu, di Kaltim, Selasa (20/10). /6). .
Baca juga
Bawaslu bicara soal data pemilih sementara yang sulit diakses
Masih menurutnya, penerapan sanksi administratif dan etik dalam kasus tertentu bisa lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan sanksi pidana.
Koordinator Bidang Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi Bawaslu mencontohkan, ada PPS (Komisi Pemungutan Suara) yang tidak mengumumkan DPS (daftar pemilih sementara) sesuai Pasal 489 UU Pemilu atau kampanye di luar jam yang diatur dalam Pasal 492 UU Pemilu. UU Pemilu.
“Sanksi pidana harus menjadi langkah terakhir (obat terakhir) apakah sanksi administratif dan etik diterapkan, tetapi tindakannya diulang-ulang,” katanya.
Baca juga
[HOAKS atau FAKTA]: Bagikan sembako pada jam kerja, Ganjar ditangkap Bawaslu
Selain itu, tambahnya, meski banyak pasal pidana dalam UU Pemilu 7/2017, namun tren pelanggaran pemilu atau pemilu (pilkada) selalu berulang.
Dia mencontohkan pelanggaran tersebut antara lain kebijakan moneter, kepala desa yang tidak netral atau memilih lebih dari satu kali.
“Ini menunjukkan bahwa pendekatan kriminal kurang efektif,” katanya. (Knu)
Baca juga
Langkah Update DPT Pemilu 2024, Bawaslu Jangan Ketinggalan