Aparat Dinilai Tidak Bedakan Pidana dan Perdata di Kasus Helmut Hermawan

Merah Putih. dengan – Kasus pengusaha pertambangan atau mantan Dirut PT CLM Helmut Hermawan terus bergulir. Kasus perseteruan antara Presiden IPW dan Wakil Menteri Hukum dan HAM ini disebabkan sulitnya polisi memahami persoalan perdata dan administrasi dalam sengketa pertambangan.

Hal itu disampaikan Rusdianto Matulatuwa, kuasa hukum mantan Direktur Utama PT CLM Helmut Hermawan. Dia merujuk pada kasus antara PT APMR dan PT Assera Mineralindo Investama yang berujung pada penangkapan paksa mantan Direktur Utama PT CLM Helmut Hermawan.

Baca juga:

Saya hanya bisa tidur, pemilik Usaha HH Mine kesulitan untuk memeriksakan kesehatannya

“Inti dari permasalahan ini adalah polisi gagal memahami dan gagal membedakan antara perdata dan administrasi. Sehingga, kepastian tentang asas ultimum remedium dalam kasus Helmut Hermawan malah berubah menjadi obat premium. Saat ini menjadi sumber administrasi isu, khususnya isu pertambangan, maka ESDM menjadi hal penting untuk mendapatkan informasi yang valid. ESDM ini tidak ada komplain, RKAB masih keluar,” ujarnya.

Baca juga:  Terungkap! Menteri di kabinet Jokowi ternyata ada yang tidak punya mobil atau motor.

Dikatakannya, saat ini pihaknya telah melakukan upaya hukum yang kembali pada prinsipnya, yaitu dimulai dari kesepakatan awal antara para pihak yang terlibat.

“Itu karena polisi menafsirkan ada tindak pidana dalam sengketa niaga PT CLM. Artinya, kami sengaja dijebak untuk tuntutan pidana. lembaga kepolisian?” katanya.

Seperti diketahui saat ini Helmut Hermawan masih dalam tahanan Polda Sulsel dan sedang sakit, namun Ditreskrimsus Polda Sulsel enggan memberinya kesempatan untuk mendapatkan perawatan yang layak.

Terkait hal itu, Rusdianto mengaku sudah berkirim surat dan melaporkannya ke Komnas HAM, Irwasum, Divisi Propam dan Kompolnas, namun hanya Komnas HAM yang menanggapi permasalahan yang dihadapi kliennya.

Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa mengatakan, dalam konteks dasar suatu perbuatan melawan hukum dalam suatu perkara, dasarnya adalah konsep bahwa perjanjian itu berada dalam ranah perdata, sehingga membuat perjanjian perdata atau memeriksanya menjadi lebih penting daripada konteks hukum pidana.

“Ini yang tadi saya sebut merugikan dalam Pasal 81 KUHP lama, justru mensyaratkan demikian. Yaitu memeriksa apakah unsur melawan hukum bisa diisi atau tidak. Bisa terpenuhi atau tidak atau sempurna atau tidak, pemenuhannya seperti itu,” ujarnya.

Baca juga:  Like a Dragon Infinite Wealth akan hadir di Xbox dan PC awal tahun 2024

Dia menyarankan agar aparat penegak hukum tidak menggunakan hukum pidana. Secara khusus, tidak menggunakan hukum pidana sambil menunggu verifikasi terlebih dahulu ruang lingkup transaksi peradilan lainnya, baik di bidang perdata maupun di PTUN.

Ia menegaskan, mekanisme di dalam kepolisian sendiri harus menyaring dulu kasus yang masuk, apakah mekanisme penyelesaiannya kemudian harus melalui proses peradilan pidana atau benar-benar bukan peristiwa pidana.

“Karena konteks saringan utama ini akan menjadi amanat penegakan hukum kalau kita baca di Pasal 109 KUHAP.

Dia menilai kasus ini terkait dengan persoalan pertambangan, kontrak kerja pertambangan atau perizinan pertambangan, dimana konteks PTUN menjadi yang utama.

“Inilah yang disebut tindakan bijak, bukan memaksakan diri untuk memproses hukuman, yang pada akhirnya kita meragukan pemenuhan unsur-unsurnya, terutama unsur-unsur perbuatan yang melanggar hukum,” ujarnya.

Baca juga:

Kontroversi kasus pengusaha tambang HH terus berlanjut, kini dugaan pemalsuan tanda tangan



Source link