Setelah 20 tahun tayang, Spirited Away masih membuktikan diri sebagai sebuah kisah yang abadi, bisa disaksikan entah ke-berapa kali, oleh siapa saja, dan kapan saja. Wajar bila film anime ini layak masuk rekomendasi film animasi terbaik sepanjang masa.
Alasannya menurut saya sederhana, film anime ciptaan Hayao Miyazaki ini menawarkan fantasi dengan gambar menggemaskan namun mampu menghangatkan hati melalui pesan-pesan mendalam terkait permasalahan sehari-hari tanpa harus merasa digurui.
Bagi saya secara pribadi, setelah saya menyaksikan film rilisan 20 Juli 2001 ini dengan kaca mata orang dewasa, Spirited Away mengingatkan akan nostalgia menikmati film Petualangan Sherina (2000) dulu kala.
Petualangan Chihiro dengan Sherina sama-sama dimulai ketika mereka terpaksa harus pindah ke kota dan lingkungan baru. Meski kemudian keduanya mengalami jenis petualangan yang berbeda, toh cerita dasar dari dua film ini sama: memberikan fantasi untuk tontonan anak usia 10-an.
Bukan hanya itu, kedua film ini juga sama-sama memberikan pesan kepada anak-anak juga orang dewasa yang relate dengan permasalahan sehari-hari: menghargai dan menghormati orang lain, manusia mestilah menjaga alam, jangan menjadi anak yang manja, orang serakah akan mendapatkan ganjarannya, saling bekerja sama mencapai tujuan, dan masih banyak yang lain.
Apalagi, bila dibandingkan dua film ikonis Miyazaki lainnya seperti My Neighbor Totoro (1988) dan Kiki’s Delivery Service (1989), Spirited Away ini lebih terasa ‘masuk’ bagi penonton secara luas namun tak mengurangi kekayaan budaya Jepang yang dimasukkan ke dalam ceritanya.
Secara cerita, Spirited Away sebenarnya jauh lebih kompleks dibandingkan dua film Miyazaki tersebut. Spirited Away punya karakter lebih beragam, hubungan antar karakter yang lebih rumit, dan alur cerita yang lebih ruwet.
My Neighbor Totoro hanya fokus pada kehidupan dua saudari: Satsuki dan Mei, ketika keduanya harus saling menguatkan saat ibu mereka sakit dan ayah mereka yang bekerja amat jauh. Plus, kehadiran Totoro yang amat menggemaskan untuk membantu mereka.
Cerita film itu juga tak banyak menggambarkan budaya dalam masyarakat Jepang, karena utuh fokus pada pengalaman ajaib dua anak perempuan tersebut.
Sedangkan Kiki’s Delivery Service terasa lebih Eropa dibandingkan Jepang, mulai dari penggambaran latar lokasi, pemahaman soal penyihir, hingga unsur-unsur budaya yang dimasukkan dalam cerita.
Hingga kemudian, film itu pada dasarnya terasa seperti dongeng masyarakat Barat yang diangkat dalam bentuk anime dan berbahasa Jepang, terlepas eksekusinya yang memang amat berkualitas.
Sementara itu dengan Spirited Away, dasar cerita yang dialami Chihiro bisa dialami oleh siapapun: ketika anak kecil merasa dunianya ‘direbut’ oleh orang dewasa dan terpaksa jadi dewasa karena situasi.
Uniknya, Miyazaki mampu mengawinkan dasar cerita tersebut dengan unsur-unsur Jepang juga negara atau wilayah lain tanpa harus kemudian penonton merasa film ini condong ke satu sisi, sehingga terasa lebih universal.
Unsur-unsur Jepang, selain bahasa, bisa dilihat dari sejak awal film ini dimulai: kuil batu, gerbang Torii, patung dewa, beragam jin juga dewa dalam agama Shinto, pemandian umum, hingga tari-tarian dan filosofi Shinto di dalam cerita ini.
Kemudian unsur di luar Jepang atau lebih universal terasa dari gambaran Chihiro sebagai anak ‘kota’ yang lebih modern, cuek dan manja, kemudian konsep bekas taman ria gerbang dunia magis Spirited Away, hingga ‘perbudakan’ yang dijalankan Yubaba dalam menjalankan bisnisnya.
Kompleksitas dan tingkat keberagaman itu menjadi bumbu dalam mengiring alur cerita yang tak kalah rumit: mengikuti perkembangan karakter Chihiro dari anak manja dan kikuk menjadi pemberani dan tegas demi menolong kedua orang tuanya.
Chihiro bukan hanya harus menyelamatkan kedua orang tuanya yang berubah menjadi babi karena serakah, tetapi juga menolong siluman naga menemukan kembali jati dirinya, membantu jin tanpa wajah yang kesepian, hingga melawan penguasa licik macam Yubaba.
Perkembangan karakter Chihiro ini juga menjadi ‘jejak’ dari seorang Hayao Miyazaki, yang selalu mengedepankan kisah feminisme, lingkungan hidup, perdamaian, cinta dan keluarga.
Biasanya, cerita dan bumbu seramai itu rawan membuat penonton bosan karena jelas butuh waktu untuk mengurai dan menarasikan gagasan kepada penonton. Hal itu terlihat dari durasi film ini yang mencapai 125 menit, alias dua jam lebih lima menit, ketika film animasi kebanyakan 90-100 menit.
Tapi Miyazaki mengakali hal itu dengan menampilkan konflik dan kejenakaan cerita yang tersebar merata dari awal hingga akhir. Ditambah, sedikit ketegangan dan twist yang membuat penonton tak sadar ikut terus menikmati. Banyaknya karakter dalam film ini juga dimanfaatkan dengan baik oleh Miyazaki demi mencegah penonton bosan.
Segala kecermelangan itu terlepas dari betapa kreatif dan menakjubkan kerja keras Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli menciptakan film animasi ini dengan cara yang sederhana: gambaran tangan, ketika di masa tersebut, animasi digital semacam Toy Story, Shrek, Ice Age, dan Lilo & Stitch.
Meski begitu, Spirited Away mungkin bagi sebagian orang tak bisa langsung mengena ke hati dalam pandangan pertama. Beberapa orang mungkin baru akan memahami filosofi film ini yang mendalam ketika menyaksikan kesekian kalinya, atau tak semua bisa tahan dengan kerumitan yang disajikan Miyazaki.
Tapi hal itu sama sekali tak mengurangi keajaiban dan kemegahan Spirited Away, yang setelah 20 tahun rilis masih cukup layak masuk rekomendasi film untuk anak-anak, dan tak mustahil hingga 20 tahun berikutnya.